Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Di Tengah Masyaraakat Minangkabau

Ditulis oleh H. Mas’oed Abidin

Jumat, 25 April 2008

الحمد لله حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه ، لا إله إلا الله ولا نعبد إلا إياه، مخلصين له الدين ولو كره الكافرون. وأزكى صلوات الله
وتسليماته على سيدنا وإمامنا، وأسوتنا وحبيبنا محمد صلى الله عليه وسلم واله ورضي الله عن أصحابه، ومن سار على ربهم إلى يوم الدين. أما بعد

Pendahuluan

Perilaku akhlak anak nagari sangat erat kaitannya dengan pemahaman syarak, Rarak kalikih dek mindalu, tumbuah sarumpun jo sikasek, Kok hilang raso jo malu, bak kayu lungga pangabek, dan selanjutnya, Nak urang Koto Hilalang, nak lalu ka Pakan Baso, malu jo sopan kalau lah hilang, habihlah raso jo pareso. Ungkapan ini menjadi bukti aturan beradat di dalam Masyarakat Minangkabau, sejak lama.

Sesungguhnya mestilah dipahami bahwa pembinaan masyarakat dimulai dari akar rumput, dari surau dan rumah tangga dan dari lingkungan masyarakat sendiri. Disini letak kekuatan utama. Potensi masyarakat mesti di gerakkan terpadu untuk menghidupkan tata masyarakat beradat itu.

Karena tujuan mulia yang hendak dicapai adalah mencerdaskan umat dengan terlebih dahulu menanamkan budi pekerti (akhlaq) sesuai adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah, syarak mangato adat memakai -,

Didorong hendak mengamalkan Firman Allah:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ . التوبة: 122
“Tidak sepatutnya bagi orang Mukmin itu pergi semuanya kemedan perang. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam ilmu pengetahuan mereka tentang agama (syariat, syarak) dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya (dengan cara-cara mengamalkannya pada setiap perilaku dan tindakan dengan kehidupan beradat), apabila mereka telah kembali kepadanya – kekampung halamannya -, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS.IX, at Taubah, ayat 122).

Ketika pemerintah mulai membuka akses lebih besar ke dunia pendidikan Islam (decade 1970-an) dengan rekonsiliasi dan penyesuaian-penyesuaian madrasah atau surau – yang terletak di jantung masyarakat -, telah berakibat program masyarakat digiring bergayut kepada pemerintah. Potensi masyarakat yang semula “berdiri diatas kaki sendiri” melemah serta merta kemandirian masyarakat mulai berkurang dan disaat yang sama gelombang penetrasi budaya dari luar sangat deras dan sulit membendungnya.

Memperkuat Umat Menghormati Perbedaan

Merosotnya peran kelembagaan adat dan syarak di Minangkabau banyak terkait oleh kurangnya pemungsian surau menjadi lembaga pendidikan anak nagari dan lemahnya pagar adat dalam kekerabatan masyarakat sehingga menjadi penyebab hilangnya daya saing pemuka adat berperan membina anak nagari.

Di sini pokok permasalahan yang amat perlu diamati.

Mendudukkan peran serta masyarakat memerlukan musyawarah dan mufakat. Kekayaan sangat berharga yang tersimpan didalam adat salingka nagari mesti digerakkan menjadi kekuatan dasar bagi membangun daerah dan negara. Perbedaan mesti dihormati.

Nabi Muhammad SAW memesankan pula, “Perbedaan di tengah-tengah umatku adalah rahmat” (Al Hadist). Perubahan adalah satu undang-undang alami, “innaz-zaman qad istadara”, – zaman berubah masa berganti (Al Hadist) -.

Kata hikmah di Minangkabau menyebutkan bahwa perbedaan semestinya dihormati, “Pawang biduak nak rang Tiku, Pandai mandayuang manalungkuik, Basilang kayu dalam tungku, Di sinan api mangko hiduik”.

Kitabullah yang menjadi landasan dari syarak mangato adat memakai, menjelaskan tentang penghormatan terhadap perbedaan itu,

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ الحجرات: 13
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berkabilah-kabilah (bangsa-bangsa)dan berpuak-puak (suku-suku) supaya kamu saling kenal mengenal …”, (QS.49, al Hujurat : 13).

Tuntutan Zaman

Seiring perkembangan zaman, masyarakat memerlukan pendidikan berkualitas (quality education) disamping itu adanya dorongan keras untuk memproduk SDM yang dapat dibeli pasar tenaga kerja juga agar dapat diujudkan duduak samo randah tagak samo tinggi dalam tata pergaulan masyarakat majemuk dan maju.

Di awal abad 18, para ulama dan ninikmamak di nagari-nagari telah menjadi penggagas dan pengasuh masyarakat dengan perguruan surau yang memiliki jalinan hubungan kuat dengan masyarakat dalam satu ikatan saling menguntungkan (symbiotic relationship).

Surau menjadi kekuatan (silent opposition) terhadap penjajahan dan penetrasi budaya dari luar. Dari surau lahir respon pemimpin dan komunitas Minangkabau menantang penjajahan budaya luar, sehingga umat kuat.

Masyarakat Minangkabau sangat akomodatif seiring pemahaman syariat dalam membentuk watak anak nagari dan kondisi ini telah menjadi pendorong masyarakat lebih maju, sangat dinamis.

Menyikapi Perubahan Zaman

Perubahan cepat globalisasi sering menompangkan riak dengan gelombang penetrasi budaya luar (asing).

Arus itu membawa akibat perilaku masyarakat, praktek pemerintahan, pengelolaan wilayah dan asset, serta perkembangan norma dan adat istiadat di banyak nagari di ranah Sumatra Barat terlalaikan. Perubahan perilaku lebih mengedepankan perebutan prestise dan kelompok berbalut materialistis dan jalan sendiri (individualistik).

Akibatnya, kepentingan bersama dan masyarakat sering di abaikan. Menyikapi perubahan sedemikian, acapkali idealisme kebudayaan Minangkabau menjadi sasaran cercaan. Indikasinya sangat tampak pada setiap upaya pencapaian hasil kebersamaan (kolektif bermasyarakat) menjadi kurang peduli di banding pencapaian hasil perorangan (individual).

Sebenarnya, nagari dalam daerah Minangkabau (Sumatra Barat) seakan sebuah republik kecil. Memiliki sistim demokrasi murni, pemerintahan sendiri, asset sendiri, wilayah sendiri, perangkat masyarakat sendiri, sumber penghasilan sendiri, bahkan hukum dan norma-norma adat sendiri. Maka “Kembali ke Nagari”, menurut hemat saya, semestinya harus lebih dititik beratkan kepada kembali banagari dalam makna kebersamaan itu.

Memahami Syarak Mangato Adat Memakai

Masyarakat adat bersendi syariat dan syariat yang bersendikan Kitabullah, semestinya memahami bahwa kaedah-kaedah adat dipertajam makna dan fungsinya oleh kuatnya peran syariat.

Pelajaran-pelajaran sesuai syara’ itu, antara lain dapat diketengahkan,
1. Mengutamakan prinsip hidup berkeseimbangan

Ni’mat Allah, sangat banyak.

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ النحل: 18
“Dan jika kamu menghitung-hitung ni’mat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi maha Penyayang” (QS.16, An Nahl : 18).

Hukum Syara’ menghendaki keseimbangan hidup rohani dan jasmani ; “Sesungguhnya jiwamu (rohani-mu) berhak atas kamu (supaya kamu pelihara) dan badanmu (jasmanimu) pun berhak atasmu supaya kamu pelihara” (Hadist).

Keseimbangan ini semakin jelas wujud dalam kemakmuran di Minangkabau ;

“Rumah gadang gajah maharam, Lumbuang baririk di halaman, Rangkiang tujuah sajaja, Sabuah banamo si bayau-bayau, Panenggang anak dagang lalu, Sabuah si Tinjau lauik, Birawati lumbuang nan banyak, Makanan anak kamanakan. Manjilih ditapi aie, Mardeso di paruik kanyang. Bimbingan syara’, “Berbuatlah untuk hidup akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok dan berbuatlah untuk hidup duniamu, seolah-olah akan hidup selama-lamanya” (Hadist).

2. Kesadaran kepada luasnya bumi Allah, merantaulah !

Allah telah menjadikan bumi mudah untuk digunakan. Maka berjalanlah di atas permukaan bumi, dan makanlah dari rezekiNya dan kepada Nya lah tempat kamu kembali.

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ الجمعة: 10
“Maka berpencarlah kamu diatas bumi, dan carilah karunia Allah dan (di samping itu) banyaklah ingat akan Allah, supaya kamu mencapai kejayaan”, (QS.62, Al Jumu’ah : 10).

Agar supaya “jangan tetap tertinggal dan terkurung dalam lingkungan yang kecil”, dan sempit,

قَالُوْا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فَتُهَا جِرُوا فِيْهَا
“Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. (QS.4, An Nisak : 97)

Merantau di Minangkabau adalah sesuatu pelajaran dalam perjalanan hidup, “Karatau madang di hulu babuah babungo balun. Marantau buyuang dahulu di rumah paguno balun. Akan tetapi, selalu ditanamkan pentingnya kehati-hatian, “Ingek sa-balun kanai, Kulimek sa-balun abih, Ingek-ingek nan ka-pai, Agak-agak nan ka-tingga”.

3. Mencari nafkah dengan “usaha sendiri”

Memiliki jati diri, self help dengan tulang delapan kerat dengan cara amat sederhana sekalipun “lebih terhormat”, daripada meminta-minta dan menjadi beban orang lain, “Kamu ambil seutas tali, dan dengan itu kamu pergi kehutan belukar mencari kayu bakar untuk dijual pencukupkan nafkah bagi keluargamu, itu adalah lebih baik bagimu dari pada berkeliling meminta-minta”. (Hadist).

Membiarkan diri hidup dalam kemiskinan tanpa berupaya adalah salah , “Kefakiran (kemiskinan) membawa orang kepada kekufuran (ke-engkaran)” (Hadist).

4. Tawakkal dengan bekerja dan tidak boros.

Tawakkal adalah satu bentuk keseriusan dan tidak “hanya menyerahkan nasib” tanpa berbuat apa-apa, “Bertawakkal lah kamu, seperti burung itu bertawakkal” (Atsar dari Shahabat). Artinya, pemahaman syarak menanamkan dinamika hidup yang tinggi.

5. Kesadaran kepada ruang dan waktu

Menyadari bahwa peredaran bumi, bulan dan matahari, pertukaran malam dan siang, menjadi bertukar musim berganti bulan dan tahun, adalah hukum alam semata.

وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا(10)وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا(11) النبأ: 10-11
“Kami jadikan malam menyelimuti kamu (untuk beristirahat), dan kami jadikan siang untuk kamu mencari nafkah hidup”. (QS.78, An Naba’ : 10-11)

6. Arif akan adanya perubahan-perubahan.

Yang perlu dijaga ialah supaya dalam segala sesuatu harus pandai mengendalikan diri, agar jangan melewati batas, dan berlebihan,

“Ka lauik riak mahampeh,
Ka karang rancam ma-aruih,
Ka pantai ombak mamacah.
Jiko mangauik kameh-kameh,
Jiko mencancang, putuih – putuih,
Lah salasai mangko-nyo sudah”.

Artinya, pemahaman syarak menekankan kepada kehidupan yang dinamis, mempunyai martabat (izzah diri), bekerja sepenuh hati, menggerakkan semua potensi yang ada, dengan tidak menyisakan kelalaian ataupun ke-engganan. Tidak berhenti sebelum sampai. Tidak berakhir sebelum benar-benar sudah.

Konsep Tata Ruang yang Jelas

Nagari di Minangkabau berada di dalam konsep tata ruang yang jelas. Basasok bajarami, Bapandam bapakuburan, Balabuah batapian, Barumah batanggo, Bakorong bakampuang, Basawah baladang, Babalai bamusajik.

Ba-balai (balairuang atau balai-balai adat) tempat musyawarah dan menetapkan hukum dan aturan ;
“Balairuang tampek manghukum,
ba-aie janieh basayak landai,
aie janiah ikan-nyo jinak,
hukum adie katonyo bana,
dandam agiae kasumaik putuih,
hukum jatuah sangketo sudah”.

Ba-musajik atau ba-surau tempat beribadah,
“Musajik tampek ba ibadah,
tampek balapa ba ma’ana,
tampek balaja al Quran 30 juz,
tampek mangaji sah jo batal” ,

Artinya ada pusat pembinaan umat untuk menjalin hubungan masyarakat yang baik (hablum-minan-naas) dan terjamin pemeliharaan ibadah dengan Khalik (hablum minallah).

Adanya balairuang dan musajik (surau) menjadi lambang utama terlaksananya hukum – kedua lembaga – balairung dan mesjid – ini merupakan dua badan hukum yang disebut dalam pepatah : “camin nan tidak kabuah, palito nan tidak padam” -di dalam pemahaman “adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah., syara’ mangato adat nan kawi syara’ nan lazim”.

Kedua lembaga ini – balai adat dan surau – keberadaannya tidak dapat dipisah dan dibeda-bedakan.
“Pariangan manjadi tampuak tangkai,
Pagarruyuang pusek Tanah Data,
Tigo Luhak rang mangatokan.
Adat jo syara’ jiko bacarai,
bakeh bagantuang nan lah sakah,
tampek bapijak nan lah taban”.

Apabila kedua sarana ini berperan sempurna, maka di kelilingnya tampil kehidupan masyarakat yang berakhlaq perangai terpuji dan mulia (akhlaqul-karimah) itu.

“Tasindorong jajak manurun,
tatukiak jajak mandaki,
adaik jo syara’ kok tasusun,
bumi sanang padi manjadi”.

Konsep tata-ruang ini adalah salah satu kekayaan budaya yang sangat berharga di nagari dan bukti idealisme nilai budaya di Minangkabau, termasuk di dalam mengelola kekayaan alam dan pemanfaatan tanah ulayat.

“Nan lorong tanami tabu,
Nan tunggang tanami bambu,
Nan gurun buek kaparak,
Nan bancah jadikan sawah,
Nan munggu pandam pakuburan,
Nan gauang katabek ikan,
Nan padang kubangan kabau,
Nan rawang ranangan itiak”.

Tata ruang yang jelas memberikan posisi peran pengatur, pemelihara.
Pendukung sistim banagari yang terdiri dari orang ampek jinih, yang terdiri dari ninikmamak ( yakni penghulu pada setiap suku, yang sering juga disebut ninikmamak nan gadang basa batuah, atau nan di amba gadang, nan di junjung tinggi, sebagai suatu legitimasi masyarakat nan di lewakan.), alim ulama (juga disebut dengan panggilan urang siak, tuanku, bilal, katib nagari atau imam suku, dll dalam peran dan fungsinya sebagai urang surau pemimpin agama Islam.

Gelaran ini lebih menekankan kepada pemeranan fungsi ditengah denyut nadi kehidupan masyarakat (anak nagari), cerdik pandai (dapat saja terdiri dari anak nagari yang menjabat jabatan pemerintahan, para ilmuan, perguruan tinggi, hartawan, dermawan), urang mudo (yakni para remaja, angkatan muda, yang dijuluki dengan nan capek kaki ringan tangan, nan ka disuruah di sarayo).

Dan bundo kanduang (terdiri dari kalangan ibu-ibu, yang sesungguhnya ditangan mereka terletak garis keturunan dalam sistim matrilinineal dan masih berlaku hingga saat ini, lebih jelasnya di ungkap di dalam Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang di Minangkabau, adalah menjadi

“limpapeh rumah nan gadang,
umbun puruak pegangan kunci,
pusek jalo kumpulan tali, sumarak dalam nagari,
nan gadang basa batuah”).

Maka, nagari di Minangkabau tidak sebatas pengertian ulayat hukum adat.
Lebih mengedepan dan utama adalah wilayah kesepakatan antar berbagai komponen masyarakat di dalam nagari .

Spiritnya adalah ;

a. Kebersamaan (sa-ciok bak ayam sa-danciang bak basi), ditemukan dalam pepatah;

“Anggang jo kekek cari makan,
Tabang ka pantai kaduo nyo,
Panjang jo singkek pa uleh kan,
mako nyo sampai nan di cito.”

b. Keterpaduan (barek sa-pikua ringan sa-jinjiang) atau hidupnya perilaku ditengah masyarakat dengan;
“Adat hiduik tolong manolong,
Adat mati janguak man janguak,
Adat isi bari mam-bari,
Adat tidak salang ma-nyalang”.

Basalang tenggang, artinya saling meringankan. Kesediaan memberikan dukungan terhadap kehidupan bersama. “Karajo baiak ba-imbau-an, Karajo buruak bahambau-an”.

c. Musyawarah (bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mupakat).

“Senteng ba-bilai,
Singkek ba-uleh,
Ba-tuka ba-anjak,
Ba ubah ba-sapo”

d. Keimanan kepada Allah SWT menjadi pengikat spirit yang menjiwai sunnatullah dalam setiap gerak mengenali alam keliling.
“Panggiriak pisau sirauik,
Patungkek batang lintabuang,
Satitiak jadikan lauik,
Sakapa jadikan gunuang,
Alam takambang jadikan guru “.

Alam telah diciptakan oleh Yang Maha Kuasa.
Terkandung faedah kekuatan, dan khasiat yang perlu untuk mempertinggi mutu hidup jasmani manusia.
Ada keharusan berusaha membanting tulang.
Ada kewajiban memeras otak untuk mengambil sebanyak-banyak faedah dari alam sekelilingnya itu.
Sambil menikmatinya, ada kewajiban mensyukurinya, dengan beribadah kepada Ilahi.

d. Kecintaan ke nagari adalah perekat yang sudah dibentuk oleh perjalanan waktu dan pengalaman sejarah.

Menjaga dari pada melewati batas-batas yang patut dan pantas.
Tidak terbawa hanyut materi dan hawa nafsu yang merusak.
Menghendaki keseimbangan rohani dan jasmani.

“Jiko mangaji dari alif,
Jiko babilang dari aso,
Jiko naiak dari janjang,
Jiko turun dari tango”.

Sikap hidup ini, menjadi sumber pendorong kegiatan di bidang ekonomi. Tujuan utama untuk keperluan jasmani (material needs).

Hasilnya tergantung kepada dalam atau dangkalnya sikap hidup tersebut berurat dalam jiwa masyarakat nagari.
Dan bergantung pula kepada tingkat kecerdasan yang telah dicapai.

Dukungan masyarakat adat dan kesepakatan tungku tigo sajarangan yang terdiri dari ninikmamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang dan kalangan rang mudo, menjadi penggerak utama mewujudkan tatanan sistim di nagari.

Terutama dalam menerjemahkan peraturan daerah kembali kepemerintahan nagari.

Hakekatnya, anak nagari sangat berkepentingan dalam merumuskan nagarinya.
Konsep ini mesti tumbuh dari akar nagari itu sendiri.
Tidak suatu pemberian dari luar.

“Lah masak padi ‘rang Singkarak,
masaknyo batangkai-tangkai,
satangkai jarang nan mudo,
kabek sabalik buhul sintak,
Jaranglah urang nan ma-ungkai,
Tibo nan punyo rarak sajo”,

artinya diperlukan orang-orang yang ahli dibidangnya, terutama dalam menatap setiap perubahan peradaban yang tengah berlaku. Hal ini perlu dipahami, supaya jangan tersua “ibarat mengajar kuda memakan dedak”.

Masyarakat nagari tidak terdiri dari satu keturunan (suku) saja, tetapi asal muasalnya berdatangan dari berbagai daerah di sekeliling ranah bundo.

Namun mereka dapat bersatu dalam satu kaedah hinggok mancangkam tabang basitumpu atau hinggok mencari suku dan tabang mencari ibu.

“Hiyu bali balanak bali,
ikan panjang bali dahulu.
Ibu cari dunsanak cari,
induak samang cari dahulu “,

Maknanya, – yang datang dihargai, yang menanti dihormati -,
“dima bumi di pijak, di sinan langik di junjuang, di situ adaik bapakai”,
satu bentuk perilaku duduk samo randah tagak samo tinggi yang menjadi prinsip egaliter di Minangkabau.

Kalau bisa dipertajam, inilah prinsip demokrasi murni dan otoritas masyarakat yang sangat independen.

Dengan modal itu, langkah penting kedepan adalah menguasai informasi substansial, mendukung pemerintahan yang menerapkan low-enforcment, memperkuat kesatuan dan Persatuan di nagari-nagari, dengan muaranya adalah ketahanan masyarakat dan ketahanan diri yang dimulai dengan apa yang ada.

Kekayaan alam dan potensi yang terpendam dalam unsur manusia.
Kekayaan nilai-nilai budaya lengkap dengan sarana pendukungnya.
Selangkah demi selangkah mesti diberdayakan.

Melaksanakan idea self help mesti seiring dengan sikap hati-hati. Ada kesadaran tinggi bahwa setiap gerak di awasi. Kesungguhan diri ditumbuhkan dari dalam.
Tanamkan keyakinan bahwa Allah SWT satu-satunya pelindung dalam kehidupan. Masyarakat Minangkabau yang beradat dan beragama selalu hidup dengan mengenang hidup sebelum mati dan hidup sesudah hidup ini.

Sesuai peringatan Ilahi,

إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ.
” Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala tidak merobah keadan sesuatu kaum, kecuali mereka mau merubah keadaan yang ada dalam dirinya masing-masing …. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap satu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya; sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. (QS.13, Ar Ra’du : 11)

Memperkuat Posisi Nagari

Tugas kembali kenagari adalah menggali potensi dan asset nagari yang terdiri dari budaya, harta, manusia, dan agama anutan anak nagari. Apabila tidak digali, akan mendatangkan kesengsaraan baru bagi masyarakat nagari. Dimulai dengan memanggil potensi yang ada dalam unsur manusia, masyarakat nagari.

Gali kesadaran akan benih-benih kekuatan yang ada dalam diri masing-masing. Kemudian observasinya dipertajam, daya pikirnya ditingkatkan, daya geraknya didinamiskan , daya ciptanya diperhalus, daya kemauannya dibangkitkan.

Upaya ini akan berhasil dengan menumbuhkan atau mengembalikan kepercayaan kepada diri sendiri.
“Handak kayo badikik-dikik,
Handak tuah batabua urai,
Handak mulia tapek-i janji,
Handak luruih rantangkan tali,
Handak buliah kuat mancari,
Handak namo tinggakan jaso,
Handak pandai rajin balaja.

Dek sakato mangkonyo ado,
Dek sakutu mangkonyo maju,
Dek ameh mangkonyo kameh,
Dek padi mangko manjadi.”.

Tujuannya agar sampai kepada taraf yang mampu berdiri sendiri dan membantu nagari secara selfless help, memberikan bantuan dari rezeki yang telah kita dapatkan tanpa mengharap balas jasa,

وَمَا لأحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَى (19) إلا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الأعْلَى (20)
“Pada hal tidak ada padanya budi seseorang yang patut dibalas, tetapi karena hendak mencapai keredhaan Tuhan-Nya Yang Maha Tinggi”. (QS.al-Lail :19- 20)

Optimisme banagari mesti selalu dipelihara,
“alah bakarih samporono,
Bingkisan rajo Majopahik,
Tuah basabab bakarano,
Pandai batenggang di nan rumik”.

Mendukung percepatan pembangunan di era otonomi daerah di Sumbar, sangat perlu disegerakan upaya upaya ;

1. Meningkatkan Mutu SDM anak nagari, dan memperkuat Potensi yang sudah ada melalui program utama,
a. menumbuhkan SDM Negari yang sehat dengan gizi cukup, meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (terutama terapan),
b. mengokohkan pemahaman agama, sehingga anak negari menjadi sehat rohani,
c. menjaga terlaksananya dengan baik norma-norma adat, sehingga anak nagari menjadi masyarakat beradat yang beragama (Islam).
d. Membentuk masyarakat beradat dan beragama sebagai suatu identitas yang tidak dapat ditolak dalam kembali kenagari.

2. Menggali potensi SDA di nagari, selaras perkembangan global dengan memperkuat ketahanan ekonomi rakyat. Membangun kesejahteraan bertitik tolak pembinaan unsur manusia. Dari menolong diri sendiri kepada mutual help.

Tolong-menolong adalah puncak budaya Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah. Berbagi pekerjaan (ta’awun) ajaran syarak. “Bantu membantu, ta’awun, mutual help dalam rangka pembagian pekerjaan (division of labour) menurut keahlian masing-masing ini, akan mempercepat proses produksi, dan mempertinggi mutu, yang dihasilkan. Itulah taraf ihsan yang hendak di capai.

3. Memperindah nagari dengan menumbuhkan contoh di nagari. Indicator utama adanya moral adat “nan kuriak kundi, nan sirah sago, nan baik budi nan indah baso”.
Efisiensi organisasi dengan reposisi dan refungsionisasi semua pemeranan fungsi dari elemen masyarakat.

Ketiga pengupayaan diatas menjadi satu konsepsi tata cara hidup.
Sistem sosial dalam “iklim adat basandi syara’ syara’ basandi Kitabullah”, adalah membina negara dan bangsa keseluruhannya untuk melaksanakan Firman Ilahi ,

وَابْتَغِ فِيمَا ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Berbuat baiklah kamu (kepada sesama makhluk) sebagaimana Allah berbuat baik terhadapmu sendiri (yakni berbuat baik tanpa harapkan balasan)”. (QS.28, Al Qashash : 77)

Kekuatan moral yang dimiliki, ialah menanamkan “nawaitu” dalam diri masing-masing, untuk membina umat dalam masyarakat di nagari harus diketahui pula kekuatan-kekuatan.
“Latiak-latiak tabang ka Pinang,
Hinggok di Pinang duo-duo,
Satitiak aie dalam piriang,
Sinan bamain ikan rayo”.

Teranglah sudah, bagi setiap orang yang secara serius ingin berjuang di bidang pembangunan masyarakat nagari lahir dan batin, material dan spiritual pasti akan menemui disini iklim (mental climate) yang subur.

Apabila pandai menggunakan dengan tepat akan banyak membantu usaha pembangunan itu. Melupakan atau mengabaikan ini, adalah satu kerugian. Berarti mengabaikan satu partner “yang amat berguna” dalam pembangunan masyarakat dan negara.

Hakikat Syarak Mangato di Minangkabau

Peran syarak di Ranah Minang sekarang ini adalah menyadarkan umat akan peran mereka dalam membentuk diri mereka sendiri.

… إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ …
“Sesungguhnya Allah tidak akan merobah nasib satu kaum, hingga kaum itu sendiri yang berusaha merobah sikap mereka sendiri.” (QS.Ar-Ra’du : 11)

Kenyataan sosial anak nagari harus di awali dengan mengakui keberadaan mereka, menjunjung tinggi puncak-puncak kebudayaan mereka, menyadarkan mereka akan potensi besar yang mereka miliki, mendorong mereka kepada satu bentuk kehidupan yang bertanggung jawab. Inilah tuntutan syarak sesuai Kitabullah.

Pencapaiannya mesti melalui gerakan dakwah ilaa Allah, karena Islam adalah agama Risalah, yang ditugaskan kepada Rasul, dan penyebaran serta penyiarannya dilanjutkan oleh da’wah, untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup manusia.

Rentangan sejarah mencatat “Risalah merintis, da’wah melanjutkan”. Kaedah ini mesti dipahami sebagai upaya intensif menerapkan adat basandi syarak syarak basandi Kitabullah, berisi petunjuk dan peringatan yang ditujukan untuk seluruh umat manusia, dan mengajak manusia dengan ilmu, hikmah dan akhlaq.

Setiap Imam, Khatib, Urang Siak, Tuanku, alim ulama suluah bendang di nagari-nagari, mesti meneladani pribadi Muhammad SAW dalam membentuk effectif leader di Medan Da’wah, menuju kepada inti dan isi Agama Islam (QS. Al Ahzab, 33 : 21).

Inti agama Islam adalah tauhid. Implementasinya adalah Akhlaq.
Umat akan menjadi baik dan kembali berjaya, bila sebab-sebab kejayaan umat terdahulu di kembalikan, maka semestinya bertindak atas dasar syara’ dengan “Memulai dari diri da’i, mencontohkannya kepada masyarakat lain”, (Al Hadist).
Inilah cara yang tepat.

Keberhasilan upaya da’wah (gerak da’wah) memerlukan pengorganisasian (nidzam).
Bimbingan syara’ mengatakan bahwa al haqqu bi-laa nizham yaghlibuhu al baathil bin-nizam.
Maknanya, yang hak sekalipun, tidak berperaturan (organisasi) akan dikalahkan oleh kebathilan terorganisir.

Jelaslah bahwa program langkah (action planning) disetiap lini adalah keterpaduan, kebersamaan, kesepakatan, dan keteguhan.
Langkah awal dengan menghidupkan musyawarah, sesuai bimbingan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Allah menghendaki kelestarian Agama dengan kemampuan mudah, luwes, elastis, tidak beku dan tidak berlaku bersitegang.

Bahasa Syarak Adalah Bahasa Kehidupan

Koordinasi sesama akan mempertajam faktor-faktor pendukung dan akan menjadi pendorong keberhasilan menghidupkan adagium adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Aktualisasi Kitabullah, nilai-nilai Al-Qur’an, hanya dapat dilihat melalui gerakan amal yang berkesinambungan (kontinyu) dalam seluruh aktivitas kehidupan manusia, seperti kemampuan bergaul, mencintai, berkhidmat, menarik, mengajak (da’wah), merapatkan potensi barisan, sehingga membuahkan agama yang mendunia.

Usaha inilah yang akan menjadi gerakan antisipatif terhadap arus globalisasi negatif pada abad-abad sekarang. Kitabullah (Al-Qur’an) telah mendeskripsikan peran agama Islam sebagai agama yang kamal (sempurna) dan nikmat yang utuh, serta agama yang di ridhai,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu, (QS.Al Maidah, 5 : 3),

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
satu-satunya Agama yang diterima di sisi Allah,yaitu Agama Islam, (QS. Ali Imran, 3 : 19).

Konsekuensinya adalah yang mencari manhaj atau tatanan selain Islam, tidak akan di ridhai,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. ( QS. Ali Imran, 3 : 85).

Karena itu bagi masyarakat adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, tidak ada pilihan lain kecuali melaksanakan tuntunan perilaku akhlak sesuai bimbingan Islam,

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang menyerahkan dirinya kepada Allah secara ikhlas, yakni orang Muslim, merekapun mengerjakan kebaikan-kebaikan” (QS. An Nisak, 4 : 125).

Setiap Muslim, dengan nilai-nilai Kitabullah (Al Qur’an) wajib mengemban missi yang berat dan mulia yaitu merombak kekeliruan ke arah kebenaran, yang menjadi inti dari “perjalanan kepada kemajuan (al madaniyah, modernitas)”, dengan implementasi perilaku sesuai pemahaman adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

Khulasah

Penerapan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah di Minangkabau berkehendak kepada gerak yang utuh dan terprogram. Hasilnya tidak mungkin di raih dengan kerja sambilan, buah yang di petik, sesuai dengan bibit yang di tanam, demikian natuur-wet (sunnatullah, = undang-undang alami).

Dalam langkah da’wah, setiap muslim berkewajiban melaksanakan tugas tabligh (menyampaikan), kemudian mengajak dan mengujudkan kehidupan beragama (bersyariat) di dunia (dinul-harakah al-alamiyyah).

Maka melibatkan semua elemen masyarakat di Minangkabau untuk menghidupkan adat basandi syara’ syara’ basandi Kitabullah menjadi tugas bersama “umat da’wah” menurut nilai-nilai Al-Qur’an –

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran, 3 : 104 ).

Da’wah ini tidak akan berhenti dan selalu berkembang terus sesuai variasi zaman yang walaupun selalu berubah namun tetap di bawah konsep mencari ridha Allah.

Maka peran serta masyarakat yang di tuntut adalah:
1. Mengelola pembinaan anak nagari dengan peningkatan manajemen yang lebih accountable dari segi keuangan maupun organisasi. Melalui peningkatan ini, sumber finansial masyarakat dapat di pertanggung jawabkan secara lebih efisien dan peningkatan kualitas pembinaan umat dapat dicapai. Segi organisasi anak nagari mesti lebih viable – dapat hidup terus, berjalan tahan banting, bergairah, aktif dan giat – menurut permintaan zaman, dan durable – yakni dapat tahan lama – seiring perubahan dan tantangan zaman.

2. Peran serta masyarakat berorientasi kepada mutu menjadikan pembinaan masyarakat berkembang menjadi lembaga center of exellence, menghasilkan generasi berparadigma ilmu komprehensif, berpengetahuan agama luas dan praktis, berbudi akhlaq plus keterampilan.

3. Peningkatan peran serta masyarakat mengelola surau dalam sistim terpadu menjadi bagian integral dari masyarakat Minangkabau seluruhnya. Pengembangan surau dalam peran pembinaan dapat menjadi inti, mata dan pusar dari learning society, masyarakat belajar. Sasarannya, membuat anak nagari generasi baru menjadi terdidik, berkualitas, capable, fungsional, integrated di tengah masyarakatnya, dengan landasan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

Wabillahit taufiq wal hidayah.

Sumber : http://hmasoed.wordpress.com

LAMBANG MINANGKABAU

Lambang Minangkabau

ARTI LAMBANG

Tuah Sakato :
Lambang Masyarakat nan Sakato
“Saciok Bak Ayam
Sadanciang nak basi”

Bola – Bulan Bintang :
Lambang Tauhid Islam
Adat basandi sarak
Syarak basandi Kitabullah
Alquran

Tanduk Kerbau :
Lambang Kearifan – Kecerdikan – Ketekunan dan Keuletan
alun takilek lah bakalam
Hiduik baraka
Baukue jo bajangko

Payung Panji :
Lambang Kemulian – Keamanan – dan Kesejahteraan Masyarakat
Bumi Sanang padi manjadi
Padi masak jagung maupie
Anak Buah sanang santoso
Taranak bakambang biak
Bapak kayo mandeh batuah
Mamak disambah urang pulo

Keris dan Pedang :
Lambang kesatuan Hukum Adat dan Hukum Islam untuk menjamin ketertiban masyarakat

Tombak :
Lambang Ketahanan Masyarakat.
Kampuang nan bapaga buek
Nagari bapaga Undang
Tagak basuku – mamaga suku
Tagak bakampuang – mamaga kampuang
Tagak ba nagari – mamaga nagari

Marawa :
Lambang Wilayah Adat Luhak nan Tigo
Warna Kuning : Lambang Luhak Tanah Datar
Warna Merah : Lambang Luhak Agam
Warna Hitam : Lambang Luhak 50 Kota
Pemasangan Merawa : Warna Hitam menyatu dengan tiang, Warna Merah ditengah, Warna Kuning dibagian luar

Sumber : Adat Minang kabau : Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang

Asalnya Minangkabau

3. Asal Usul Kata Minangkabau

Orang-orang Majapahit tidak ketinggalan mencoba kecerdasan dan kecerdikan orang-orang dari Gunung Merapi ini. Pada suatu hari mereka membawa seekor kerbau besar dan panjang tanduknya, kecil sedikit dari gajah.

Mereka ingin mengadakan pertandingan adu kerbau. Ajakan mereka itu diterima baik oleh kedua datuk yang tersohor kecerdikannya dimana-mana itu, yaitu Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatih nan Sabatang. Taruhannya adalah seperti dulu-dulu juga, yakni kapal pendatang dengan segala isinya, dan taruhan datuk yang berdua itu ialah kerajaan mereka sendiri.

Waktu tiba saatnya akan mengadu kerbau, setelah kerbau Majapahit dilepaskan di tengah gelanggang, orang banyak riuh bercampur cemas melihat bagaimana besarnya kerbau yang tidak ada tandingannya di Pulau Perca waktu itu.

Dalam keadaan yang menegangkan itu, pihak orang-orang negeri itupun mengeluarkan kerbaunya pula. Dan alangkah herannya dan kecutnya hati orang banyak itu melihat mereka mengeluarkan seekor anak kerbau. Anak kerbau itu sedang erat menyusu, dan orang tidak tahu, bahwa anak kerbau itu telah bebearapa hari tidak doberi kesempatan mendekati induknya.

Ketika melihat kerbau besar di tengah gelanggang anak kerbau itu berlari-lari mendapatkannya yang dikria induknya dengan kehausan yang sangat hendak menyusu. Dimoncongnya terikat sebuah taji atau minang yang sangat tajam. Ia menyeruduk ke bawah perut kerbau besar itu, dan menyinduk-nyinduk hendak menyusu. Maka tembuslah perut kerbau Majapahit, lalu lari kesakitan dan mati kehabisan darah.

Orang-orang Majapahit memprotes mengatakan orang-orang negeri itu curang. Kegaduhan pun terjadi dan hampir saja terjadi pertumpahan darah. Tetapi dengan wibawanya Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatih Nan Sabatang membawa orang-orang itu ke balai persidangan. Disanalah Dt. Parpatih Nan Sabatang menangkis tuduhan-tuduhan orang-orang Majapahit. Akhirnya orang-orang Majapahit pemgakui kealpaan mereka tidak mengemukakan persyaratan-persyaratan antara kedua belah pihak sebelum mengadakan pertandingan.

Sejak itu tempat mengadu kerbau itu sampai sekarang bernama Negeri Minangkabau. Dan kemudian hari setelah peristiwa kemenangan mengadu kerbau dengan Majapahit itu termasyhur kemana-mana, wilayah kekuasaan orang-orang yang bernenek moyang ke Gunung Merapi dikenal dengan Alam Minangkabau. Diceritakan pula kemudian rumah-rumah gadang diberi berginjong seperti tanduk kerbau sebagai lambang kemenangan.
(Sumber : Minangkabau Tanah Pusaka – Tambo Minangkabau)

4. Hubungan Minangkabau dengan Negeri Sembilan

Datuk Perpatih nan Sebatang pada zaman dahulu konon kabarnya sudah pernah berlayar dan sampai ke Melaka serta singgah di Negeri Sembilan.

Negeri Sembilan sekarang

Negeri Sembilan termasuk salah satu negara bagian yang menjadi negara Federasi Malaysia. Sebelah selatannya terletak Gubernemen Melaka sebelah ke timur dengan negara bagian Jojor, sebelah utara dengan Pahang dan sebelah barat dengan Selangor.

Dalam tahun 1970 negara bagian yang luasnya 2.580 mil persegi ini mempunyai penduduk lebih dari setengah juta jiwa dengan penduduk berkebangsaan Melayu lebih sedikit dari bangsa Cina. Mayoritas di Malaysia terdiri dari tiga rumpun bangsa : Melayu, Cina dan Keling.

Penduduk bangsa Melayu yang kira-kira seperempat juta itu sebahagian besar masih mempunyai hubungan dengan daerah asalnya yaitu Minangkabau. Masih banyak adat istiadat Minangkabau yang masih belum hilang oleh mereka dan sebagian masih dipergunakan dalam tata cara hidupnya. Malahan beberapa keterangan dan adat-adat yang di Minangkabau sendiri sudah dilupakan pada mereka masih tetap segar dan masih dipergunakan. Hubungan sejarah ini sudah bermula pada pertengahan abad kelima belas.

Patun mereka berbunyi :

Leguh legah bunyi pedati
Pedati orang pergi ke Padang
Genta kerbau berbunyi juga
Biar sepiring dapat pagi
Walau sepinggan dapat petang
Pagaruyung teringat juga

Negeri Sembilan sebuah kerajaan tetapi pemerintahannya berdasarkan Konstitusi yang disana dikatakan Perlembagaan Negeri. Badan Legislatifnya bernama “Dewan Perhimpunan/Perundingan Negeri yang mempunyai anggota 24 orang. Anggota-anggota ini dipilih oleh rakyat dalam Pemilihan Umum yang disini dikatakan : Pilihan raya.

Pelaksanaan pemerintahan dilaksanakan oleh Menteri Besar yang didampingi oleh 8 orang anggotanya yang bernama : “Anggota Majelis Musyawarah Kerajaan Negeri”. Gelaran raja ialah Duli Yang Mahamulia Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan. Dalam tahun 1970 itu yang memerintah ialah : Tuanku Ja’far ibni Almarhum Tuanku Abdul Rahman dan beliau ialah keturunan yang kesebelas dari Raja Malewar yang berasal dari Minangkabau dan memerintah antara tahun 1773 – 1795.

Pemerintahan Negeri Sembilan terbagi atas 6 daerah seperti kabupaten di Indonesia, yaitu: Seremban, Kuala Pilah, Port Dickson, Jelebu, Tampin dan Rembau. Ibukotanya ialah Seremban. Istana raja terdapat di ibukota Seremban ini bernama : Istana Seri Menanti. Tetapi arsitekturnya tidak lagi dengan cara Minang melainkan sudah berkomposisi antara arsitektur Minang dan Melayu.

Kedatangan bangsa Minangkabau

Sebelum Negeri Sembilan bernama demikian di Melaka sudah berdiri sebuah kerajaan yang terkenal dalam sejarah. Dan pelabuhan Melaka menjadi pintu gerbang untuk menyusup kedaerah pedalaman tanah Semenanjung itu. Maka sebulum berdiri Negeri Sembilan datanglah rombongan demi rombongan dari Minangkabau dan tinggal menetap disini.

Rombongan Pertama

Mula-mula datanglah sebuah rombongan dengan pimpinan seorang datuk yang bergelar Datuk Raja dengan isterinya Tok Seri. Tetapi kurang jelas dari mana asal mereka di Minangkabau. Mereka dalam perjalanan ke Negeri Sembilan singgah di Siak kemudian meneruskan perjalanan menyeberang Selat Melaka terus ke Johor. Dari Johor mereka pergi ke Naning terus ke Rembau. Dan akhirnya menetap disebuah tempat yang bernama Londar Naga. Sebab disebut demikian karena disana ditemui kesan-kesan alur naga. Sekarang tempat itu bernama Kampung Galau.

Rombongan Kedua

Pimpinan rombongan ini bergelar Datuk Raja juga dan berasal dari keluarga Datuk Bandaro Penghulu Alam dari Sungai Tarab. Rombongan ini menetap disebuah tempat yang kemudian terkenal dengan Kampung Sungai Layang.

Rombongan Ketiga

Rombongan ketiga ini datang dari Batu Sangkar juga, keluarga Datuk Makudum Sati di Sumanik. Mereka dua orang bersaudara: Sutan Sumanik dan Johan Kebesaran. Rombongan ini dalam perjalanannya singgah juga di Siak, Melaka, dan Rembau. Kemudian membuat sebuah perkampungan yang bernama Tanjung Alam yang kemudian berganti dengan Gunung Pasir.

Rombongan Keempat

Rombongan ini datang dari Sarilamak (Payakumbuh), diketuai oleh Datuk Putih dan mereka menepat pada Sutan Sumanik yang sudah duluan membuka perkampungan di Negeri Sembilan ini. Datuk Putih terkenal sebagai seorang pawang atau bomoh yang ahli ilmu kebatinan. Beliaulah yang memberi nama Seri Menanti bagi tempat istana raja yang sekarang ini.

Kemudian berturut-turut datang lagi rombongan lain-lainnya antaranya yang dicatat oleh sejarah Negeri Sembilan : Rombongan yang bermula mendiami Rembau datangnya dari Batu Hampar (Payakumbuh) dengan pengiringnya dari Batu Hampar sendiri dan dari Mungka. Nama beliau ialah Datuk Lelo balang. Kemudian menyusul lagi adik dari Datuk Lelo Balang bernama Datuk Laut Dalam dari Kampung Tiga Nenek.

Walaupun penduduk Negeri Sembilan mengakui ajaran-ajaran Datuk Perpatih nan Sebatang yang sangat populer disini tetapi mereka tidak membagi persukuan atas 4 bagian seperti di Minagkabau. Mungkin disebabkan situasi dan perkembangannya sebagai kata pepatah : Dekat mencari suku jauh mencari Hindu, maka suku-suku di Negeri Sembilan berasal dari luhak dari tempat datang mereka itu atau negeri asal datangnya.

Berdasarkan asal kedatangan mereka yang demikian terdapatlah 12 suku di Negeri Sembilan yang masing-masing adalah sbb;

1. Tanah Datar
2. Batuhampar
3. Seri Lemak Pahang
4. Seri Lemak Minangkabau
5. Mungka
6. Payakumbuh
7. Seri Malanggang
8. Tigo Batu
9. Biduanda
10. Tigo Nenek
11. Anak Aceh
12. Batu Belang

Fakta-fakta dan problem

Sejarah Pada sebuah tempat yang bernama Sungai Udang kira-kira 23 mil dari Seremban menuju Port Dickson terdapat sebuah makam keramat. Disana didapati juga beberapa batu bersurat seperti tulisan batu bersurat yang terdapat di Batu Sangkar. Orang yang bermakam disana bernama Syekh Ahmad dan berasal dari Minangkabau. Ia meninggal dalam tahun 872 H atau 1467 Masehi. Dan masih menjadi tebakan yang belum terjawab, mengapa kedatangan Sekh itu dahulu kesini dan dari luahk mana asalnya.

Raja berasal Minangkabau

Dalam naskah pengiriman raja-raja yang delapan orang antaranya dikirimkan ke Rembau, Negeri Sembilan bernama Malenggang Alam. Tetapi bilamana ditinjau sejarah negeri Sembilan raja Minangkabau pertama dikirimkan kesini Raja Mahmud yang kemudian bergelar Raja Malewar.

Raja Malewar memegang kekuasaan antara tahun 1773-1795. Beliau mendapat 2 orang anak Tengku Totok dan puteri bernama Tengku Aisah. Beliau ditabalkan di Penajis Rembau dan kemudian pindah ke istana Seri Menanti. Sehingga sekarang masih populer pepatah yang berbunyi :

Be raja ke Johor
Bertali ke Siak
Bertuan ke Minangkabau

Kedatangan beliau ke Negeri Sembilan membawa selembar rambut yang kalau dimasukkan ke dalam sebuah batil atau cerana akan memenuhi batil atau cerana itu. Benda pusaka itu masuh tetap dipergunakan bila menobatkan seorang raja baru. Yang mengherankan kenapa sesudah meninggalnya Raja Malewar dalam tahun 1795 tidak diangkat puteranya menjadi raja melainkan sekali lagi diminta seorang raja dari Minangkabau. Dan dikirimlah Raja Hitam dan dinobatlkan dalam tahun 1795. Raja Hitam kawin dengan puteri Raja Malewar yang bernama Tengku Aisyah sayang beliau tidak dikarunia putera.
Raja Hitam kawin dengan seorang perempuan lain bernama Encek Jingka. Dari isterinya itu beliau mendapat 4 orang putera/puteri bernama : Tengku alang Husin, Tengku Ngah, Tengku Ibrahim dan Tengku Alwi. Dan ketika beliau wafat dalam tahun 1808 mengherankan pula gantinya tidaklah diangkat salah seorang puteranya.

Tetapi sekali lagi dikirimkan perutusan ke Pagaruyung untuk meminta seorang raja baru. Dan dikirimlah Raja Lenggang dari Minagkabau dan besar kemungkinan inilah Raja Melenggang Alam yang dikirimkan dari Minangkabau dan tersebut dalam naskah pengiriman raja-raja yang Delapan di Minangkabau.

Raja Lenggang memerintah antara tahun 1808 sampai tahun 1824. Raja Lenggang kawin dengan kedua puteri anak raja Hitam dan mendapat putera dua orang bernama : Tengku Radin dan Tengku Imam.

Ketika raja Lenggang meninggal dinobatkanlah Tengku Radin menggantikan almarhum ayah beliau. Dan inilah raja pertama Negeri Sembilan yang diangkat oleh Pemegang Adat dan Undang yang lahir di Negeri Sembilan. Dan keturunan beliaulah yang turun temurun menjadi raja di Negeri Sembilan. Raja Radin digantikan oleh adiknya Raja Imam (1861-1869). Dan selanjutnya raja-raja yang memerintah di Negeri Sembilan : Tengku Ampuan Intan (Pemangku Pejabat) 1869-1872, Yang Dipertuan Antah 1872-1888, Tuanku Muhammad 1888-1933, Tuanku Abdul Rahman 3/8/1933-1/4/1960, Tuanku Munawir 5/4/1960-14/4/1967, Tuanku Ja’far dinobatkan 18/4/1967.

Terbentuknya Negeri Sembilan

Semasa dahulu kerajaan negeri Sembilan mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Minangkabau. Yang menjadi raja dinegeri ini asal berasal dari keturunan Raja Minangkabau. Istananya bernama Seri Menanti. Adat istiadatnya sama dengan Minangkabau, peraturan-peraturannya sebagiannya menurut undang-undang adat di Minangkabau. Mereka mempunyai suku-suku seperti orang Minangkabau tetapi berbeda cara pemakaiannya.

Perpindahan penduduk ini terjadi bermula pada abad ke :XIV yaitu ketika pemerintah menyarankan supaya rakyat memperkembang Minangkabau sampai jauh-jauh diluar negeri. Mereka harus mencari tanah-tanah baru, daerah-daerah baru dan kemudian menetap didaerah itu. Setengahnya yang bernasib baik dapat menemui tanah kediaman yang subur dan membuka tanah dan membuat perkampungan disitu. Ada pula yang bersatu dengan rakyat asli yang ditemui merka dan menjadi pemimpin disana. Sudah tentu adat-adat, undang-undang, kelaziman dinegeri asalnya yang dipergunakannya pula dinegeri yang baru itu. Sebagai sudah diuraikan orang-orang Minangkabau itu menjalani seluruh daerah : ke Jambi, Palembang, Indragiri, Taoung Kanan dan Tapung Kiri, Siak dan daerah lainya. Sebagiannya menyeberangi Selat Melaka dan sampai di Negeri Sembilan.

Pada abad ke XVI pemerintahan negeri mereka disana sudah mulai tersusun saja. Mereka mendirikan kerajan kecil-kecil sebanyak 9 buah dan kesatuan kerajan kecil-kecil itu mereka namakan NEGERI SEMBILAN. Negara ini terjadi sewaktu Minangkabau mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil ini dan diperlindungkan dibawah kerajan Johor. Setelah negara kesatuan ini terbentuk dengan mufakat bersama dengan kerajaan Johor dimintalah seorang anak raja Pagaruyung untuk dinobatkan menjadi raja di Negrei Sembilan itu. Pada waktu itulah bermula pemerintahan Yang Dipertuan Seri Menanti.

Asal usul anak negeri disitu kebanyakan dari Luhak Lima Puluh Kota yaitu dari : Payakumbuh, Sarilamak, Mungka, Batu Balang, Batu Hampar, Simalanggang dan sebagian kecil dari Luhak Tanah Datar. Dari negeri-negeri mana mereka berasal maka nama-nama negeri itulah menjadi suku mereka. Sebagian tanda bukti bahwa rakyat Negeri Sembilan itu kebanyakan berasal dari Luhak Lima Puluh Kota sampai sekarang masih terdapat kata-kata adat yang poluler di Lima Puluh Kota : “Lanun kan datang merompak, Bugis kan datang melanggar”. Kata-kata adat ini sering tersebut dalam nyanyian Hikayat Anggun nan Tunggal Magek Jabang. Di tanah Melaka kata-kata ini menjadi kata sindiran atau cercaan bagi anak-anak nakal dan dikatakan mereka “anak lanun” atau anak perompak.

Kalau dibawa kepada jalan sejarah diatas tadi, maka yang dimaksud dengan “lanun” itu ialah perompak, rakyat dari Raja Daeng Kemboja yang hendak merampas Negeri Sebilan. Dan Bugis adalah nama negeri asal Daeng Kemboja tadi. Dan memang aneh, kata lanun yang jadi buah nyanyian oleh rakyat Lima Puluh Kota ini tidak dikenal oleh rakyat Luhak Agam dan sedikit oleh rakyat rakyat Luhak Tanah Datar. Karena memang fakta sejarah keturunan anak negeri Sembilan itu sebagian besar berasal dari Luhak Lima Puluh Kota. Nama suku-suku rakyat disana menjadi bukti yang jelas.

Oleh karena Sultan Johor sudah memberikan bantuannya dalam melindungi rakyat Negeri Sembilan ini dari jarahan lanun atau Daeng Kemboja, disebabkan ini pulalah Yang Dipertuan Pagaruyung memberikan bantuan kepada Sultan Johor dalam memberikan bantuan ikut bertempur di Siak untuk memerangi bangsa Aceh. Maka hubungan yang demikian rapat semenjak berabad-abad itu menjadikan hubungan antara negara yang akrab : Negeri Sembilan pada khususnya, Indonesia – Malaysia pada umumnya.

(Sumber : Minangkabau Tanah Pusaka – Tambo Minangkabau)